Bhakti dan Bati
Tulisan ini menarik sekali sehingga mimin rangkum dan post ulang, tujuannya agar kita bisa sama sama belajar eling...
Simak manten dibawah ngih..
Bukan untuk saling menggurui napi malih saling menyalahkan...😇🙏
Bhakti berasal dari kata 'bhaj' (Sanskerta) yang artinya terikat, mengikat dan melekatkan diri pada Tuhan.
Dari kata tersebut terbentuk kata bhakti yang berarti kasih sayang, cinta kasih, pelayanan, kesetiaan, cinta yang tulus dan luhur serta tanpa pamrih kepada Tuhan. Ibarat tumbuhan menjalar, dari bagian bawah sudah tertancap akar kuat sebagai alur tumbuh berkembangnya bibit luhur ketuhanan. Sulurnya dapat melilit, lama kelamaan semakin membelit hingga sampai di puncak pohon — puncak kesadaran Tuhan. Kesadaran terhadap Tuhan adalah abstrak, tetapi realisasinya dapat diejawantahkan melalui bhakti sakala, ekspresi cinta kasih dalam kesetiaan melayani sesama manusia. Sebab melayani manusia sejatinya adalah melayani Tuhan: manava seva madhava seva.
Tentang hal ini, Swami Vivekananda menyatakan: “Pandanglah setiap pria, wanita dan anak-anak sebagai Tuhan.
Kita tidak akan mampu menolong siapapun, kita hanya dapat melayani mereka.
Layanilah anak- anak Tuhan itu, layani Tuhan itu sendiri, jikalau kita mempunyai kehormatan untuk berbuat demikian.
Lakukanlah itu sebagai suatu pemujaan".
Merealisasi ajaran bhakti sebenarnya mudah dan alamiah, tetapi menjadi masalah bahkan acapkali mendatangkan musibah ketika bertransformasi menjadi 'bati', bentuk bhakti yang tidak lagi mengalir dari lumuran kasih sayang atau cinta kasih yang tulus ikhlas, tetapi telah berkembang menjadi ekspresi perilaku yang selalu berharap pamrih terhadap apapun yang dilakukan, demi mendapat keuntungan pribadi dan pastinya berhubungan dengan materi.
Ini namanya bhakti manjadi bati, tidak lagi berasal dari kasih sayang tetapi berangkat dari motif “kasi saya”; bukan lagi bersumber dari rasa cinta kasih, tetapi baru akan mencinta kalau sudah dikasi; tidak juga mengikuti kata hati yang tulus ikhlas, tetapi lebih menuruti kepentingan memuaskan hati yang culas.
Dari segi konsep, ajaran bhakti memang tak dapat disangsikan lagi kebenaran dan pahalanya.
Akan lebih meyakinkan lagi kebenarannya, bila disempurnakan dalam konteks kehidupan sehari-hari...
Selama ini ada pandangan yang menyatakan konsep ajaran bhakti diwujudkan sebatas dalam bentuk ritual, sehingga disebut ngaturang bhakti atau mabhakti saja.
Berbeda dengan ajaran bhakti dalam konteks kekinian, yang dipentingkan membumikan filosofinya bukan meninggikan arti teologinya.
Sebab, teori yang baik menurut Hindu adalah praktik, lagipula Hindu itu agama amalan bukan hafalan.
Salah satu praktik simpel alias sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan konsep “Bhatre” yang merupakan akronim dari kata “Bhakti-Tresna-Eling”. Secara teoritis, ajaran bhakti masih berada di tataran konsep, yang dapat diimplementasikan ke dalam bentuk
“bhakti” kehadapan Hyang Widhi, dengan cara “nyakup lima nylepit bunga” (ngaturang sembah bhakti). Lalu
“tresna” (cinta, kasih sayang) kepada sesama umat manusia dengan cara “nyakup lima ngenjuh dana” (mapitulung); kemudian yang sangat penting dan tidak boleh disepelekan apalagi diabaikan adalah perilaku
“eling” kepada keberadaan lingkungan alam beserta segala sumber daya hayatinya, dengan cara “nyakup lima miara sarwa maurip”.
Dengan konsep “bhatre” umat dengan mudah, dan murah dapat menjadi penyembah Tuhan dengan cara mencintai, menyayangi dan mengasihi segenap makhluk-Nya. Inilah model bhakti terintegrasi, mulai tingkat bawah/rendah ke tingkat atas/tertinggi.
Tuhan baru akan memberikan berkah dan anugrah bukan lantaran umat rajin ngaturang sembah (ritual), akan tetapi ketika umat memulainya dengan bhakti yang sangat berarti bagi tumbuh berkembangnya makhluk lainnya.
Apa yang selama ini dilakukan umat Hindu dengan lebih memusatkan perhatian pada praktik bhakti ritual, dengan mengalokasikan dana/materi sebesar-besarnya hanya untuk kepen-tingan upacara yadnya memang tidak salah, namun akan lebih baik dan bermakna lagi jika dikolaborasikan, dikombinasikan atau disinergikan dengan cara yang jauh lebih berguna bagi upaya menumbuhgiatkan kesadaran/kepedulian/solidaritras sosial, sebagaimana diamanatkan dalam pesan ajaran tattwam asi dan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan alam (sarwam idham kuthem bhukem), demi sarwa sukhinah bhawantu, tercapainya kondisi segenap makhluk ciptaan-Nya dalam keadaan sejahtera, sentosa, dan bahagia.
Intinya, implementasi ajaran bhakti itu harus murni, tidak boleh dicemari atau terkontaminasi, sehingga tingkatannya berada di level parabhakti.
Sebaliknya, jika konsep bhakti terdegradasi oleh kepentingan pamrih materi, maka akan turun derajat ke level aparabhakti, yang aktualisasinya menjadikan bhakti hanya sebagai kesempatan ngalih bati.
Sumber: dirangkum dari phdi.or.id
📸 : fb ricknandy bali Style (ilustrasi)
Admin : halopejati.com