Filosofi Dari Ngayah
N G A Y A H Ngayah adalah kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan secara gotong royong dengan hati yang tulus iklas baik di keluarga, banjar maupun di tempat suci. Seperti halnya Ngayah Mereresik sebelum dan sesudah dilaksanakannya upacara yadnya yang bertujuan untuk kesucian secara sekala dan niskala. Di Bali, Kata Ngayah dalam sebuah kajian filosofis disebutkan secara harfiah berarti : Melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990), yang dilihat dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya PURUSAISME terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada : Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah desa adat) dan konskuensinya. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : 1.Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga atau pengayah di pura lainnya. 2.Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat) 3.Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu diberikan oleh raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas penaklukan kerajaan / daerah lain. Latar belakang sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu berakar dari kata ayah, ayahan, pengayah, ngayahang (yang saling kait mengkait dalam satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan desa telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. kita mengenal prinsip perbedaan makna yang diturunkan dari realitas tersebuat, yaitu: Ngayah ke Pura, Ngayah ke banjar dan Ngayah ke puri atau Ngayah ke gerya. Dalam masyarakat Bali secara prinsip membedakan ngayah dengan ngoopin (ngaopin), meskipun ngoopin juga memiliki makna melakukan kerja tanpa upah tapi secara hakiki tidak sama. Sedang tradisi ngoopin jelas diletakkan dalam format hubungan atau kedekatan.. Pada umumnya “Ngayah” dan Mapitulung berkaitan dengan lawar dan belawa sebagaimana dijelaskan purantara bugbug disebutkan bahwa : Walaupun ngayah tidak ada bayaran atas pekerjaan yang dilaksanakan oleh Belawa, Ia mendapatkan penghargaan sosial yang cukup tinggi akan halnya dengan kedudukan pemangku maupun tukang bebanten (srati) oleh sang manggala upakara. yang penyelenggaraanya berdasarkan tri manggalaning yadnya dengan hati yang tulus iklas Meskipun tidak memerlukan banten pangendek panuur (banten uleman) seperti ketika nuur pemangku, MASUAKA untuk meminta belawa membantu pelaksanaan pekerjaan di bidang masakan sangatlah diperlukan. Ngayah yang juga menimbulkan rasa kebersamaan dan ketulusan.. Kutipan : sejarahharirayahindu 📸: Fb @made sukardiana (hanya ilustrasi) Admin : halopejati.com