Kulkul Bhuta Kala, Harmonisasi Tenaga & Waktu
Bali terkenal dengan tradisi dan budaya yang sangat kental dengan kekuatan adat istiadat dan spiritual yang tinggi. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaan, yaitu dengan adanya kepercayaan tentang istilah Rwa Bineda yang sering ditentukan oleh Desa Kala Patra.
Desa Kala Patra memiliki pemahaman yang sering ditentukan oleh faktor ruang, waktu, dan kondisi riil di lapangan. Konsep tersebut menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif akan adanya menerima pengaruh kebudayaan luar.
Kebudayaan Bali sangat menjunjung tinggi keseimbangan dan harmonisasi dalam kehidupan.
Hal tersebut tercerminkan melalui ajaran Tri Hita Karana, yang menyatakan tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Tri Hita Karana menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan).
Untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi dalam kehidupan, masyarakat Bali percaya dengan mengadakan upacara bhuta yadnya yang disebut dengan caru.
Caru merupakan upacara agama Hindu yang dipersembahkan kepada bhuta, lebih tinggi dari banten saiban, jotan dan yadnya sesa serta segehan.
Caru berarti baik, dan serasi.
Sehingga caru merupakan upacara yang bisa menyerasikan bhuana agung dan bhuana alit agar mencapai kesejahteraan. Caru merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya.
Bhuta berarti kegelapan, membuat perasaan yang tidak baik, yang menggangu ketentraman hidup manusia.
Upacara caru memiliki beberapa makna dan fungsi .
Upacara caru sebagai sarana untuk menetralisir kekuatan-kekuatan alam yang bersifat buruk yang dapat menghilangkan keseimbangan hidup antara manusia dengan alam disekitarnya sehingga muncul di muka bumi bermacam-macam kejadian yang dapat menyengsarakan kehidupan manusia.
Upacara caru sebagai sarana penyucian Tri Bhuana ini sehingga proses ekosistem alam ini dapat lestari, seimbang dan berkesinambungan.
Dalam upacara caru ada beberapa sarana dan prasara yang digunakan, antara lain: banten suci, banten caru, ayam (layang-layang), sanggah cucuk, sengkui, sampat, tulud, lis, sibuh pepek, payuk pere dan TETIMPUG. Sarana dan prasana upacara caru berbeda-beda menurut tingkatan dan desa mawacara atau dresta yang dimiliki desa pakraman masing-masing.
Hal-hal semacam itulah yang bisa dipelajari saat membantu orang dalam sebuah upacara mecaru.
Kali ini admin lebih kepada apa makna dari TETIMPUG itu...
Mungkin menyisakan pertanyaan. Mungkin juga menimbulkan diskusi lanjutan.
Tapi begitulah selalu saat kita belajar.
TETIMPUG
Ada yang menarik perhatian dalam sarana dan prasarana upacara caru dan sering terlepas dari perhatian masyarakat Bali ada umumnya. Jika ditanyakan tetimpug pasti banyak yang menjawab tahu akan tetapi kurang tahu maknanya.
Dalam kehidupan sehari-hari apabila ada upacara mecaru orang2 sering mengikuti persiapan dari rangkaian upacara tersebut.
Sering disebut dengan matulung ngae ben banten dll, dalam hal itu banyak hal yang dapat dipelajari secara adat istiadat.
Akan tetapi seperti pernyataan terkait dengan tetimpug sering kali saya penasaran akan arti dan makna dari satu sarana tersebut.
Rasa penasaran tersebut saya pertanyakan kepada beberapa penglingsir dalam keluarga, namun tak mendapatkan jawaban pasti pada saat merangkai bersama sarana dan prasarana caru tersebut..
Diskusi terkait dengan hal itu pun mengerucut dengan orang tua yang notabena beliau sering ngayah pada pemangku yang sering menyusun hingga menjalankan upacara mecaru tersebut.
Menariknya persepsi mereka tidak sama dengan saya, akan tetapi informasi yang diberikan memberikan pemahaman yang baru bagi saya.
TETIMPUG merupakan sarana untuk mengundang kekuatan untuk melaksanakan sebuah upacara yadnya.
Menurut Ida Bagus Suragatana ketua paguyuban pemangku Desa Kelusa, Payangan, Gianyar menyatakan tetimpug merupakan kulkul bhuta kala.
Tetimpug terbuat dari satu ruas bambu yang nantinya akan dibakar menggunakan Danyuh(janur tua yang sudah dikeringkan) hingga menghasilkan sebuah letupan.
TETIMPUG ada beberapa penggunaannya ada tiga atau lima batang bambu.
Sesuai dengan tingkatan..
Upacara caru yang menggunakan tiga buah Tetimpug digunakan dalam upacara caru yang biasa dan melambangkan Tri Kona, yaitu
Utpeti, Stiti, dan Pralina.
Jika yang menggunakan lima buah tetimpug upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung.
Hal tersebut melambangkan
Panca Maha Bhuta, yaitu
Pertiwi, Apah, Teja, Bayu, dan Akasa.
Persepsi tersebut memberikan pemahaman bahwa Tetimpug memiliki makna yang sangat mendalam dalam sebuah upacara yadnya, karena tetimpug merupakan sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis.
Jika tetimpug tidak bersuara maka Kala itu tidak datang, begitu juga sebaliknya jika bersuara Kala itu datang dan merasa terpanggil...
DiKutip dari Tatkala
oleh Gde nyana kesuma
📸 : Jero mangku arya
Admin: halopejati.com