top of page
Cari

Sayangi wanitamu ... Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu

Peran ibu sebagai penyelenggara Aktivitas Agama, dalam keluarga Hindu sangat jelas Tampak, karena sebagaian besar dilaksanakan oleh para wanita atau kaum ibu-ibu. Akan hal ini sesuai dengan tuntunan petunjuk suci pustaka Manawadharmasastra III dalam sloka 55, 56, 57, 58, menyatakan sebagai berikut:


Pitrbhir bhratrbhic

Caitah patibhir dewarais tatha

Pujya bhusayita wyacca

Bahu kalyanmipsubhin.


Terjemahan:

Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.


Kemudian Sloka 56 berbunyi demikian:

Yatra naryastu pujyante

Ramante tatra dewatah

Yatraitastu na pujyante

Sarwastaraphalah kriyah


Terjemahan:

Dimana wanita dihormati, disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berphala.


Berikutnya Sloka 57 berbunyi demikian:

Cocanti jamayo yatra

Winacyatyacu tatkulam

Na cocanti tu yatraita

Wardhate taddhi sarwada


Terjemahan:

Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.


Selanjutnya Sloka 58 berbunyi demikian:

Jamayo yani gehani

Capantya patri pujitah

Tani krtyahatanewa

Winacyanti samantatah


Terjemahan:

Rumah diaman wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.


Berdasarkan pada tuntunan pustaka suci tersebut, bila disesuaikan dengan kenyataannya, memang besar kebenaranya, karena sebagain besar aktivitas agama, ditangani oleh para ibu-ibu.


Lebih jauh dalam pustaka suci Manusmerti XI sloka 28, juga ada dinyatakan sebagai berikut:


Apatyam dharmakaryanicucrusaaratiruttama

Daradhinastathaaswargahgahpitrinam atmanacca ha.


Terjemahan:

Anak-anak, upacara agama, pengabdian kebahagian rumah tangga, surge untuk leluhur maupun untuk diri sendiri (semua) didukung oleh istri.


Pengamalan dari tuntunan-tuntunan pustaka suci tersebut, dalam kehidupan ibu sebagai penyelenggara aktivitas agama pada keluarganya, diwujudkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan upacara, misalnya setelah selesai memasak di dapur sebelum makan, diselengarakan upacara Jadnya Sesa dengan mempersembahkan banten jotan atau saiban, yang terdiri dari hasil masakan berupa sesuap nasi lengkap dengan lauk pauknya.

Upacara adalah salah satu kerangka agama Hindu yang paling kongkrit kegiatannya, yaitu merupakan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa melalui suatu persembahan berupa Yadnya.


Essensi daripada agama adalah Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya.


Semua upacara itu dibuat berdasarkan Susila/Etika dan mempunyai inti hakekat yang terkandung di dalamnya yang disebut dengan Tattwa.

Dengan demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa, Susila/Etika dan Upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan.


Bila dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, maka pelaksanaan Ngejot adalah upacara, yang diwujudkan berupa banten, sekaligus berfungsi sebagai alat atau sarana.

Adapun waktu untuk mempersembhakannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, itu mempunyai makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang telah membantu penyelesaian proses dari bahan mentah hingga menjadi masak dan siap untuk dimakan.


Kerangka Tattwanya terletak pada makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya Sesa itu, yaitu berfungsi sebagai uacapan terimah kasih manusia atas karunia Hyang Widhi/manifestasi Beliau, telah membantu dengan selamat kepada umatNya berupa perlindungan dalam bentuk makanan, untuk kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya.


Dengan demikian, maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara batin merupakan pengendalian hawa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumber-Nya.


Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat dalam sloka 10, 11,12,13,14 yang berbunyi sebagai berikut:


Sloka 10:

Pada jaman dahulu kala prajapati menciptkan manusia dengan Yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.


Sloka 11:

Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.


Sloka 12:

Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.


Sloka 13:

Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingan sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.


Sloka 14:

Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan dari yadnya lahir dari pekerjaan.


Demikian dasar-dasar dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilaksanakan dengan yadnya, sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui Yadnya pula.


Sumber kutipan: mutiara hindu

📸 : album google (hanya ilustrasi)




Admin : halopejati.com

4 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page